DIAGNOSA PENYAKIT PADA UDANG WINDU (Penaeus Monodon)
Abstrak
Udang windu (Penaeus monodon) merupakan
salah satu jenis udang yang sangat menarik dan menguntungkan untuk dipelihara.
Kendala terbesar dari pemeliharaan udang windu ini adalah penyakit yang sering
menyerang udang dengan masa inkubasi yang cukup pendek sehingga dapat sangat
merugikan petani karena bisa mengakibatkan kematian masal. Saat ini diagnose
penyakit udang windu dilakukan dengan cara mikroskopis dan gejala klinis. Diagnosa
mikroskopis jika menggunakan cara konvensional (laboratorium) membutuhkan waktu
yang lama. Sedangkan menggunakan cara modern yaitu PCR (polimer chain reaction)
cepat tetapi memerlukan biaya yang mahal. Diagnosa melalui gejala klinis
memerlukan keahlian dari seorang pakar. Sistem pakar yang dibangun dalam
penelitian ini mengadopsi kemampuan seorang pakar dalam mendiagnosa penyakit
udang windu melalui gejala klinis. Output dari sistem yang dibangun diharapkan
dapat membantu petani untuk mendiagnosa penyakit udang windu secara cepat dan
tepat, sehingga penyakit udang windu dapat didiagnosa sedini mungkin sebelum
menimbulkan kerugian yang besar. Input yang dibutuhkan oleh sistem ini adalah
bobot, umur, keadaan lingkungan air tambak, perilaku udang. Data lainnya adalah
pemeriksaan general per bagian tubuh udang yang dilanjutkan dengan pemeriksaan
detail kelainan pada bagian tertentu tubuh udang. Untuk pendeteksian jenis
penyakit dilakukan dengan teknik pelacakan ke belakang (backward chainning).
Logika fuzzy digunakan untuk mendeteksi tingkat keparahan penyakit udang windu
karena dinilai sangat tepat untuk mengadopsi kemampuan pakar dalam hal ini ke
dalam sistem pakar yang dibangun. Logika fuzzy yang digunakan adalah metode
Mamdani dengan metode defuzifikasi Centroid. Sistem pakar dilengkapi dengan
fasilitas penjelasan mengenai identitas udang, status kelayakan lingkungan,
jenis penyakit, informasi penyakit, tingkat keparahan penyakit dan langkah apa
yang harus dilakukan untuk menangani udang yang terserang penyakit dengan
tingkat keparahan tertentu. Dari hasil uji coba yang telah dilakukan didapatkan
akurasi 95% untuk diagnosa jenis penyakit sedangkan untuk tingkat keparahan
penyakit akurasinya 85%.
Kata kunci : Polimer Chain Reaction (PCR)
I. PENDAHULUAN
Budidaya udang
windu di Indonesia dimulai pada awal tahun 1980-an, dan mencapai puncak
produksi pada tahun 1985-1995. Sehingga pada kurun waktu tersebut udang windu
merupakan penghasil devisa terbesar pada produk perikanan.
“Selepas
tahun 1995 produksi udang windu mulai mengalami penurunan. Hal itu disebabkan
oleh penurunan mutu lingkungan dan serangan penyakit. Berbagai upaya telah
dilakukan dalam meningkatkan produksi udang windu. Salah satu diantaranya
adalah penerapan sistem budidaya udang windu secara intensif yang dimulai sejak
pertengahan tahun 1986” (FAO,
2007).
Udang windu (Penaeus monodon Fab.)
merupakan salah satu komoditas budidaya air payau yang utama di Indonesia. Namun, dengan
memperhatikan pencapaian produksi udang budidaya terjadi penurunan produksi. Penyakit
merupakan salah satu faktor penting yang dapat menyebabkan kegagalan usaha
budidaya perikanan. Salah satu agen penyakit yang paling berbahaya adalah virus, karena penularan virus
sangat cepat dan dapat mengakibatkan kematian massal bagi udang. Virus resisten terhadap
senyawa bahan kimia tertentu atau antibiotik karena partikel virus (virion) di
dalam sel tubuh dilindungi oleh koagulasi protein plasma dan protein sel. Ditinjau dari penyebabnya,
penyakit pada organisme budidaya dapat digolongkan menjadi dua yaitu pertama penyakit yang
ditimbulkan oleh komponen biotik yang dapat menimbulkan infeksi ke dalam tubuh
udang yang disebabkan oleh mikroorganisme seperti virus, bakteri, jamur,
protozoa dan metazoa, sedang yang kedua
penyakit yang ditimbulkan oleh komponen abiotik yang disebabkan oleh gangguan
faktor makanan dan kualitas air. Diagnosa
penyakit viral lebih sulit dibandingkan dengan diagnosa penyakit yang lain,
karena virus terlalu kecil untuk dideteksi dengan
menggunakan mikroskop cahaya. Sekarang telah dikembangkan teknik PCR yang lebih baik dibandingkan teknik yang lain
baik ketepatan dan kecepatan serta mudah digunakan. Berdasarkan pertimbangan
tersebut teknik PCR merupakan metode terbaik untuk diagnosa virus.
II.
Tinjauan pustaka
Sejak
budidaya udang mulai berkembang pada era tahun 80-an, berbagai jenis virus
telah dilaporkan menginfeksi udang windu di Indonesia sejak saat itu,
diantaranya adalah virus white spot
syndrome virus (WSSV),
monodon baculovirus (MBV), hepatopancreatic parvo-likevirus
(HPV), yellow head virus (YHV), infectious
myonecrosis virus (IMNV), infectious
hypodermal hematopoietik necrosis virus (IHHNV) dan Laem-Singh virus (LSNV).
Virus
merupakan patogen obligate yang hanya dapat hidup dan berkembang dalam jaringan
inang. Virus mengalami beberapa tahap perkembangan dalam sel inang (1) Virion
umumnya masuk ke dalam sel dengan cara menempel pada permukaan sel yang disebut
dengan reseptor. Reseptor biasanya meliputi protein, polisakarida, atau
kompleks lipoprotein-polisakarida. (2) Selanjutnya komponen virus (genome)
melakukkan penetrasi ke dalam sel inang sedangkan envelopnya tetap berada
diluar sel. Pada saat itu, virus melakukan tahap perkembangan awal. Pada saat
awal perkembangan virus, mesin biosintesis inang diubah oleh virus untuk
kebutuhan biosintesanya. (3) Setelah mengalami perbanyakan genome, selanjutnya
melakukan sintesa protein untuk digunakan sebagai pembungkus virus. (4) Tahap
selanjutnya, terjadi penggabungan antara genome dengan bahan pembungkus virus
membentuk virus baru. (5) Tahap dimana virus lepas dari satu sel dengan cara
lysis lalu menginfeksi sel – sel lainnya dalam tubuh inang.
Secara
umum yang dilakukan untuk mencegah infeksi virus tersebut adalah deteksi dini
dengan PCR. PCR yang merupakan suatu teknik
perbanyakan molekul DNA dengan ukuran tertentu secara enzimatik melalui
mekanisme perubahan suhu. Secara ringkas, prinsip PCR dapat dijelaskan sebagai
berikut. Pada suhu 94-95oC, DNA mengalami denaturasi (pembelahan
untai ganda menjadi untai tunggal). Waktu yang diperlukan untuk proses ini
sekitar 30 detik pada suhu 95oC atau 15 detik pada suhu 97oC.
Apabila DNA target mengandung banyak nukleotida G/C, suhu denaturasi dapat
ditingkatkan. Denaturasi yang tidak lengkap akan menyebabkan renaturasi secara
cepat, sedangkan waktu denaturasi yang terlalu lama dapat memepengaruhi kerja
ensim taq polymerase. Hal ini sangat berpengaruh terhadap keberhasilan proses
PCR. Umumnya sebelum proses siklus PCR dimulai sering sekali dilakukan pre
denaturasi selama 3-5 menit, untuk menyakinkan bahwa molekul DNA target yang
ingin dilipat gandakan jumlahnya benar-benar terdenaturasi
(Lightner dan Redman, 1998).
Teknik
PCR ini dirintis oleh
Kary Mullis pada tahun 1983 dan ia memperoleh hadiah Nobel pada tahun 1994
berkat temuannya tersebut. Penerapan PCR banyak dilakukan di bidang biokimia
dan biologi molekular karena relatif murah dan hanya
memerlukan jumlah sampel yang sangat kecil.
“Zat yang akan dielektroforesis dimuat pada sumur (disebut well) pada
sisi elektroda negatif. Apabila aliran listrik diberikan, terjadi aliran
elektron dan zat objek akan bergerak ke arah sisi elektroda positif. Kecepatan
pergerakan ini berbeda-beda, tergantung dari muatan dan ukuran objek. Kisi-kisi
gel berfungsi sebagai pemisah. Objek berukuran lebih besar akan lebih lambat
berpindah”
(Lightner dan Redman, 1998).
Metode diagnosis dengan multipleks PCR merupakan salah
satu metode yang paling cepat dan menjanjikan tingkat akurasi yang tinggi
dibandingkan metode lain. Sampel dapat disiapkan dalam awetan alkohol 70% dalam
potongan kecil (0,5 cm), untuk PCR dan penggunaan formalin 10% untuk
pemeriksaan histopatologi.
“Sampai
saat ini belum ada obat – obatan yang tersedia yang dapat diberikan pada udang
yang terinfeksi oleh virus, sehingga pengendalian yang paling mungkin untuk
mengatasi penyakit ini hanyalah dengan cara pencegahan agar tidak masuk dalam
sistim budidaya” (Lightner dan Redman, 1998).
Daftar Pustaka
Lightner, D V.1998. Infectious hypodermal and
hematopoietic necrosis, a newly recognized virus disease of penaeid shrimp, J
Invertebr Pathol 42:
62-70.
0 comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.