Monday, February 9, 2015

WSBM Semester 1 : Membuat Rangkuman isi buku Nelayan Pa'rengge



BAB  I
PARADOKS DALAM
RELASI KERJA NELAYAN

Di daerah sulawesi selatan, dijumpai adanya kelompok-kelompok nelayan dalam berbagai jenis dan dalam jumlah yang relative cukup banyak. Namun demikian, kelompok nelayan yang menjadi pengkajian dalam tulisan ini adalah kelompok nelayan Pa’rengge yang memiliki anggota sawi yang cukup besar.
Dalam kelompok nelayan tersebut sawi yang terkemuka di kalangannya dalam hal kepemilikan modal usaha serta memiliki kemampuan mengorganisasikan modal dan tenaga kerja.
Relasi dalam bentuk ikatan Pinggawa-Sawi tersebut merupakan perantara interaksi dalam kelompok nelayan.
Dalam kehidupan sawi, masalah yang paling mendasar dan sangat mengikat adalah tingginya ketergantungan pemenuhan kebutuhan hidup keluarganya terhadap pinggawa besar maupun pinggawa kecil.
Aktivitas nelayan yang terkonsentrasi di laut, secara tidak disadari talah menjadi perangkap atau jebakan bagi dirinya. Keasyikan dan keterpencilan dalam pekerjaan sebagai nelayan telah turut mempengaruhi kesempatan para sawi untuk memperoleh keterampilan laindan kesempatan ekonomi yang lebih luas dalam rangka meningkatkan kabilitasnya.
Demikian luas dan kompleksnya masalah tindakan sosial budaya masyarakat nelayan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya laut dan perikanan,sehingga fokus pengkajian ini secara khusus di setting kearahyang terkait dengan struktur signifikasi,struktur dominasi,dan struktur legitimasi yang juga memiliki keterkaitan satu sama lain dalam menjelmakan keseimbangan dinamis dalam komunitas nelayan.
BAB  II
POTRET
DESA NELAYAN “TAMALATE”

          Karakteristik umum, Desa tamalate, kacamatan galeson utara, kabupaten takalar, memiliki luas wilayah sebesar 202,36 ha/ m2, yang secara administratif terdiri dari enam dusun. Dengan luas wilayah yang ada,desa ini dihuni oleh 1593 kepala keluarga, dengan jumlah keseluruhan penduduk adalah 6132 jiwa.
          Hingga tahun1965 di daerah ini belum dikenal dengan nama desa tamalate, pada saat itu, wilayah ini masih terdiri dari dua pa’rasangang yakni “pa’rasangang lomu simpulungan” dan pa’rasangang gallarang soreang” .
          Momentun perubahan desa tamalate, awalnya didasarkan pada keinginan yang kuat dari masyarakat untuk wilayahya terlalu kecil, jika dibandingkan dengan pa’rasangang lainya di kacamatan galesong utara.
          Lebih lanjut, dikatakan bahwa di Desa Tamalate lebih banyak dikenal sebagai nelayan parengge dan nelayan “kubu” dan “ra’go” yang memakai perahu “jolloro”. Dengan menggunakan alat pancing “rinta” untuk menangkap ikan merah dan ikan katombo. Karena itu pintu gerbang sebelah utara desa ini di beri gambar ikan merah.
          Keadaan Klimatologi, komunitas nelayan pa’rengge di desa tamalate, seperti halnya nelayan di daerah daerah lain pesisir sulawesi selatan, mengetahuhi adanya adanya pola angin.
          Pemanfaatan Lahan, penggunaan lahan di daerah pesisir Kabupaten takalar yang padamulannya cukup menonjol adalah konversi areal hutan bakau menjadi areal pertambakan dan pemukiman penduduk. Namun, dalam perkembangan lebih lanjut banyak areal pertambakan yang telah dikonversi menjadi areal pemukiman penduduk.
          Sejarah Alat Rengge, kecenderungan nelayan desa tamalate dalam menggunakan perahu atau kapal pa’rengge adalah cukup tinggi perkembangan perahu atau kapal pa’rengge disesuaikan kapasitas mesinya.
BAB  III
STUKTUR DAN AKTOR
DALAM KOMUNITAS NELAYAN:
BEBERAPA PERSPEKTIF

          Pokok pikiran yang dirumuskan oleh Giddens ke dalam apa yang ia sebut sebagai Teori Strukturasi, adalah bahwa tidak ada ‘struktur’ tanpa ’pelaku’ dan tidak ada ‘tindakan’ tanpa ‘struktur’. Selanjutnya, atas dasar perspektif strukturasi, lalu ia kembali menginterpretasi berbagai permasalahan besar yang berkenaan dengan modernitas, globalisasi, Negara (bangsa) dan sebagainya.
          Pada dasarnya, Teori Strukturasi Giddens yang memusatkan perhatiannya pada praktik social yang berulang adalah sebuah teori yang menghubungkan antara agen dan struktur. Berstein mengatakan dalam Rizter (2008: 508) bahwa “tujuan fundamental dari teori strukturasi adalah untuk menjelaskan hubungan dialektika dan saling pengaruh mempengaruhi antara agen dan struktur”.
          Ada kalanya relasi sosial yang berlangsung antara ponggawa dan sawi pada komunitas nelayan, seakan-akan menyerupai hubungan antar kerabat dekat atau keluarga, sehingga hubungan yang terjadi cenderung mengutamakan perasaan dari pada keuntungan ekonomi. Keluarga yang dimaksudkan disini adalah “keluarga tiruan” atau “keluarga imitasi” (Pseudo Kinship), yang merupakan penjelmaan dari proses signifikasi yang berlangsung lama melalui konstruksi tindakan ponggawa terhadap sawi.  Bagi seorang ponggawa, selalu berupaya agar bagaimana dapat menciptakan  hubungan kekerabatan yang erat dengan sawinya atau menyerupai hubungan antar keluarga, sehingga sistem relasi yang berlangsung dapat terpelihara keseimbangannya secara otomatis (homeostatis).
          Melalui pengalaman penelitian, bahwa salah satu unsur dari cara berpikir yang dianut dalam relasi ponggawa-sawi pada komunitas nelayan, ialah bahwa sesuatu yang dinilai tinggi atau yang utama harus dapat mendasari pada setiap unsur atau bagian dalam sistem relasi, misalnya nilai-nilai tentang “Siri na’ Pacce”yang selama ini turut mendasari relasi antara ponggawa dan sawi, misalnya dalam sistem perekrutan anggota sawi, terutama pada masa lampau. Sehingga dengan demikian, maka proses diferensiasi sosial yang berlangsung dalam komunitas nelayan pada masa itu telah menjelmakan hubungan kesesuaian, keserasian, dan harmonisasi antara ponggawa dan sawi.
          Di Sulawesi Selatan, telah banyak ahli dari berbagai disiplin ilmu-ilmu social  yang telah menaruh perhatian dan melakukan pengkajian tentang masyarakat nelayan dan telah menghasilkan karya-karya ilmiah di bidang maritim. Beberapa ahli yang telah melakukan penelitian dan menulis karya ilmiah pada bidang maritim, seperti; Sallatang (1982), yang menelaah kelompok Pinggawa-Sawi dari sudut dan pendekatan sosiologi dengan memfokuskan pada Kelompok Kecil. Kemudian, Resusun (1985) yang menelaah tentang beberapa aspek social ekonomi nelayan bagang di Pulau Sembilan. Salman (2002), yang mengkaji Pergeseran Hubungan Isdustrial pada Komunitas Industri Pembuatan Perahu, Wisata Pantai dan Penangkapan Ikan melalui pendekatan sosiologis.
          Dari beberapa hasil karya tulis disertasi yang disebutkan di atas,  terdapat temuan-temuan, misalnya yang diungkap oleh Sallatang, (1982) bahwa hubungan antara pinggawa dengan sawi merupakan hubungan kepentingan yang diperkuat oleh hubungan kerabat dan hubungan yang menyerupai kerabat. Hubungan yang menyerupai hubungan kerabat yang paling banyak tampil, khususnya antara pinggawa besar dengan pinggawa kecil dan antara pinggawa besar dengan sawi.
          Demikian juga, Salman (2002) menemukan bahwa kondisi masyarakat nelayan di Sulawesi Selatan menunjukkan hubungan patron-klien yang masih sangat signifikan jika dibandingkan dengan masyarakat pertanian atau masyarakat perkotaan, sehingga kemajuan disisi produksi akibat modernisasi yang berlangsung belum diikuti sepenuhnya oleh pergeseran hubungan patron-klien ke hubungan industrial yang sifatnya kontraktual.
         
BAB  IV
STRUKTURASI PA’RENGGE
ASET BESAR (KAYA)

          DI DESA TAMALATE, selain terdapat kelompok nelayan yang menggunakan perahu fiber (pa’fiber) dan perahu jolloro,juga terdapat kelompok-kelompok nelayan yang menggunakan jenis perahu yang berukuran besar yang mereka sebut ‘’kapal” dengan menggunakan tenaga kerja sawi berkisar 15 sampai dengan 17 orang. Kelompok ini, di kalangan nelayan disebut sebagai kelompok “pa’rengge”.
          Struktur Signifikasi, Pa’palele asset besar paling sering mengeluarkan kata-kata yang manis kepada sawi MF dan sawi lainnya, ketika banyak hasil tangkapan ikan yang didapatkan oleh kelompok
          Sruktur dominasi, dengan kekuatan dominasi pa’palele dalam kelompok sehingga ada kalanya setiap kali ada bantuan dari pemerintah yang diperuntukkan bagi nelayan seringkali diambil alih oleh pa’palele dengan tanpa melibatkan juragan pa’rengge dan sawi. Bahkan biasanya ada upaya untuk menolak bantuan-bantuan yang datang dari pemerintah untuk nelayan miskin.
          Struktur Legitimasi, struktur legitimasi atau struktur pengesahan atau pembenaran bagi seseorang pa’palele terhadap pinggawa kecil dan sawi, erat kaitanya dengan struktur signifikasi dan dominasi yang berlangsung dalam kelompoknya.
          Pandangan Sawi Miskin terhadap Tindakan Pa’palele Aset Besar, sawi MF yang merupakan sawi termiskin memandang pinggawa besar H. AT seringkali memperlakukannya bersama dengan anggota sawi lainnya dengan cara yang kasar dan mencela hasil kinerja sawi.

BAB  V
STRUKTUR PA’RENGGE
ASET KECIL

          Di daerah ini, ada pa’palele yang hanya memiliki aset paling kecil atau jumlah perahunya hanya satu buah, yang mereka sebut sebagai “pa’palele kaasiasi” (pa’palele miskin). Orang yang dimaksud adalah oarang yang bernama H.Bbg yang sampai sekarang masih berdomisili di desa  tamalate.
          Struktur Signifikasi, struktur signifikasi (signification) menyerupai hal hal yang berkenaan dengan skemata simbolik (penandaan) aturan, pemaknaan, penyebutan dan wacana dari seseorang sawi terhadap hasil tindakan seseorang pinggawa (juragan) dan pinggawa besarnya, (pa’palele) atau sebaliknya, dari pa’palele terhadap pinggawa kecil dan sawi.
          Struktur Dominasi, dominasi pinggawa besar H. Bbg adalah menguasai modal produksi berupa kapal, mesin, lampu lampu sorot, alat tangkap jaring (rengge), dan semua alat alat pendukung lainnya. Sedangkan, dominasi pinggawa kecil Dg. RP berkenaan denganmeminpin oprasional pelayaran dan penangkapan ikan laut, serta ikut terlibat dalam proses pemasaran, bila dikehendaki oleh pinggawa besar H. Bbg.
          Struktur legitimasi, struktur legitimasi dari pa’palele H.Bbg terhadap juragan atau pinggawa kecil Dg. RP adalah meminpin anggota sawi dalam melakukan pelayaran dan oprasional penangkapan ikan di laut. Sebailiknya pinggawa kecil terhadap pinggawa besar untuk menetapkan harga dan pemasaran hasil produksi yang didapatkan oleh kelompok.
          Pandangan Sawi Miskin terhadap Tindakan Pa’palele Aset kecil, sawi UD adalah sawi termiskin dalam kelompok ini memandang pinggawa besar H.Bbg seringkali memperlakukannya bersama dengan anggota sawi lainya dengan cara yang cukup baik. Sawi UD terkadang merasa malu untuk melakukan kesalahan kepada kelompoknya, karena merasa selalu diperlakukan dengan bijak oleh juragannya dan pa’palelenya

BAB  VI
SARANA ANTARA
DAN INTERAKSI PADA
STRUKTUR SIGNIFIKASI

          Proses berlangsungnya, struktur signifikasi dalam relasi patron-klien, selalu melibatkan “bingkai interpretasi” antar aktor nelayan sebagai ‘sarana antara’ yang lebih bersifat kognitif.
          Interaksi melalui komunikasi dalam sruktur signifikasi relasi Patron-klien, Interaks yang berlangsung diantara aktor nelayan, dilakukan melalui proses ”komunikasi” diantara mereka, baik dalam bentuk tindakan, maupun dalam bentuk ungkapan.
          Dualitas struktur-aktor dalam struktur signifikasi, pada dasarnya ketiga gugus struktur besar yakni struktur signifikasi, struktur dominasi, dan struktur legitimasi dalam relasi patron-klien, satu sama lain memiliki keterkaitan yang sangat erat dantingkat stabilitas serta fluktuasi jaringannya sangat ditentukan oleh keseimbangan  hubungan antar ketiganya. Selanjutnya, adanya interaksi-interaksi yang terjadi secara berulang-ulang yang didasari pada kepentingan praksis (bidang kehidupan), yang akan membentuk dan mengubah struktur itu (Giddens, 1984 : 162-213).

BAB  VII
SARANA ANTARA DAN INTERAKSI
PADA STRUKTUR DOMINASI
DALAM RELASI KERJA NELAYAN
          Sarana antara, pada struktur penguasaan atau struktur dominasi dalam relasi sosial budaya kelompok nelayan pa’rengge adalah “fasilitas” yang dalam bentuk seperangakat peralatan produksi (perahu, mesin dan alat tangkap).
          Interaksi melalui kekuasaaan pada struktur dominasi dalam relasi kerja nelayan, kekuasaan politik pa’palele lebih mengarah pada tindakan yang mengutamakan kesesuaian, keserasian dan kebersamaaan(lebih memberdayakan ) dalam kelompoknya.
          Dualitas struktur-aktor dalam struktur dominasi,  ruang kapasitas nelayan ada dalam struktur pinggawa-sawi sebagai hasil konstruksi dari strukturasi, telah menunjukkan bahwa elemen-elemen baru memiliki peluang yang sangat kecil untuk diintegrasi ke dalam sistem relasi patron klien.


BAB  VIII
SARANA ANTARA DAN INTERAKSI
PADA STRUKTUR LEGITIMASI
DALAM RELASI KERJA NELAYAN

          Sarana antara, Sistem norma sebagai “sarana antara”dalam kelompok telah beroperasi mengatur mengarahkan, dan membatasi tindakan-tindakan aktor pada relasi kerja nelayan melalui “kekuatan sanksi” dalam interaksi sosialnya.
          Sanksi pada struktur legitimasi dalam relasi kerja nelayan,  sanksi yang paling kuat dalam kelompok adalah sawi biasanya berhenti bekerja atau meninggalkan kelompoknya untuk bekerja pada kelompok nelayan lainnya.
          Dualitas struktur-aktor dalam struktur legitimasi, sesungguhnya sangat dipengaruhi oleh adanya kekuatan dualitas struktur signifikasi dan dualitas struktur dominasi dari kedudukan seorang pinggawa besar sebagai pemilik modal produksi dan yang menempati strata tertinggi dalam kelompok.

BAB IX
PERANGKAP KEMISKINAN

          Berbagai faktor, rata rata nelayan sawi tidak memiliki pekerjaan sampingan, nelayan sawi umumnya memiliki ketergantungan hutang piutan terhadap pinggawa kecil dan pinggawa besar, sehingga selalu berada dalam posisi tidak berdaya.
          Keterasingan atau isolasi, umumnya mereka memiliki keterbatasan untuk berinteraksi dengan lingkungan sosial lainya, karena aktivitas sehari harinya selalu terkonsentrasi di tengah lautan dalam rangka memenuhi kebutuhan akan produksi,distriibusi dan konsumsi hasil-hasil laut.
          Kerawanan/kerentanan pekerjaan (gampangi nataba bala), ketika mereka menghadapi keganasan ombak dan badai ditengah lautan. Resiko pekerjaan melaut sangat rentan terhadap kecelakaan kerja, nampaknya tidak menjadi suatu yang dapat mengurangi semangat nelayan untuk melakukan pelayaran dan penangkapan ikan di laut.
          Kelemahan fisik, mareka hanya membeli secara pribadi mie instan (indomie)  dalam jumlah yang terbatas, sebagai pengganti sayur sayuran untuk dikonsumsi sehari-hari selama melaut.
          Konsekuensi antar mata rantai perangkap kemiskinan, Akibatnya sangat memungkinkan seseorang menjadi miskin, yang pada gilirannya memberi pengaruh terhadap jasmaninya. Karena itu, dapat dikatakan bahwa mata rantai ini juga memiliki jalinan dengan mata rantai lainnya dan menjelmakan kekuatan memerangkap yang cukup kuat, tetapi tidak sekuat dengan mata rantai kemiskinan dan isolasi.


BAB  X
EPILOG

          Sifat pekerjaan sebagai nelayan yang mengkondisikan para anggota sawi menghabiskan waktunya di laut, telah mengakibatkan meteka memiliki keterampilan yang sangat rendah dan sangat sulit melakukan pekerjaan sampingan. Kemudian, bagi anggota sawi yang terkait dengan hutang piutang, lalu melakukan pelanggaran terhadap aturan-aturan yang berkenaan dengan kegiatan produksi kelompok, misalnya tidak ikut melaut karena melakukan pekerjaan lainya (buruh bangunan), maka akan mendapat sanksi yang keras dari seorang pinggawa besar, minimal harus melunasi utang dan kemudian dipecat.

1 comments:

Note: Only a member of this blog may post a comment.

lihat juga