Wednesday, May 13, 2015

Kumpulan Karya Ilmiah Terbaru



DIAGNOSA PENYAKIT PADA UDANG WINDU (Penaeus Monodon)


Abstrak

Udang windu (Penaeus monodon) merupakan salah satu jenis udang yang sangat menarik dan menguntungkan untuk dipelihara. Kendala terbesar dari pemeliharaan udang windu ini adalah penyakit yang sering menyerang udang dengan masa inkubasi yang cukup pendek sehingga dapat sangat merugikan petani karena bisa mengakibatkan kematian masal. Saat ini diagnose penyakit udang windu dilakukan dengan cara mikroskopis dan gejala klinis. Diagnosa mikroskopis jika menggunakan cara konvensional (laboratorium) membutuhkan waktu yang lama. Sedangkan menggunakan cara modern yaitu PCR (polimer chain reaction) cepat tetapi memerlukan biaya yang mahal. Diagnosa melalui gejala klinis memerlukan keahlian dari seorang pakar. Sistem pakar yang dibangun dalam penelitian ini mengadopsi kemampuan seorang pakar dalam mendiagnosa penyakit udang windu melalui gejala klinis. Output dari sistem yang dibangun diharapkan dapat membantu petani untuk mendiagnosa penyakit udang windu secara cepat dan tepat, sehingga penyakit udang windu dapat didiagnosa sedini mungkin sebelum menimbulkan kerugian yang besar. Input yang dibutuhkan oleh sistem ini adalah bobot, umur, keadaan lingkungan air tambak, perilaku udang. Data lainnya adalah pemeriksaan general per bagian tubuh udang yang dilanjutkan dengan pemeriksaan detail kelainan pada bagian tertentu tubuh udang. Untuk pendeteksian jenis penyakit dilakukan dengan teknik pelacakan ke belakang (backward chainning). Logika fuzzy digunakan untuk mendeteksi tingkat keparahan penyakit udang windu karena dinilai sangat tepat untuk mengadopsi kemampuan pakar dalam hal ini ke dalam sistem pakar yang dibangun. Logika fuzzy yang digunakan adalah metode Mamdani dengan metode defuzifikasi Centroid. Sistem pakar dilengkapi dengan fasilitas penjelasan mengenai identitas udang, status kelayakan lingkungan, jenis penyakit, informasi penyakit, tingkat keparahan penyakit dan langkah apa yang harus dilakukan untuk menangani udang yang terserang penyakit dengan tingkat keparahan tertentu. Dari hasil uji coba yang telah dilakukan didapatkan akurasi 95% untuk diagnosa jenis penyakit sedangkan untuk tingkat keparahan penyakit akurasinya 85%.
Kata kunci : Polimer Chain Reaction (PCR)

I.       PENDAHULUAN

Budidaya udang windu di Indonesia dimulai pada awal tahun 1980-an, dan mencapai puncak produksi pada tahun 1985-1995. Sehingga pada kurun waktu tersebut udang windu merupakan penghasil devisa terbesar pada produk perikanan.
“Selepas tahun 1995 produksi udang windu mulai mengalami penurunan. Hal itu disebabkan oleh penurunan mutu lingkungan dan serangan penyakit. Berbagai upaya telah dilakukan dalam meningkatkan produksi udang windu. Salah satu diantaranya adalah penerapan sistem budidaya udang windu secara intensif yang dimulai sejak pertengahan tahun 1986” (FAO, 2007).

Udang windu (Penaeus monodon Fab.) merupakan salah satu komoditas budidaya air  payau yang utama di Indonesia. Namun, dengan memperhatikan pencapaian  produksi udang budidaya terjadi penurunan produksi. Penyakit merupakan salah satu faktor penting yang dapat menyebabkan kegagalan usaha budidaya perikanan. Salah satu agen penyakit yang paling berbahaya adalah virus, karena penularan virus sangat cepat dan dapat mengakibatkan kematian massal bagi udang. Virus resisten terhadap senyawa bahan kimia tertentu atau antibiotik karena partikel virus (virion) di dalam sel tubuh dilindungi oleh koagulasi protein plasma dan protein sel. Ditinjau dari penyebabnya, penyakit pada organisme budidaya dapat digolongkan menjadi dua yaitu pertama penyakit yang ditimbulkan oleh komponen biotik yang dapat menimbulkan infeksi ke dalam tubuh udang yang disebabkan oleh mikroorganisme seperti virus, bakteri, jamur, protozoa dan metazoa,  sedang yang kedua penyakit yang ditimbulkan oleh komponen abiotik yang disebabkan oleh gangguan faktor makanan dan kualitas air. Diagnosa penyakit viral lebih sulit dibandingkan dengan diagnosa penyakit yang lain, karena virus terlalu kecil untuk dideteksi dengan menggunakan mikroskop cahaya. Sekarang telah dikembangkan teknik PCR yang lebih baik dibandingkan teknik yang lain baik ketepatan dan kecepatan serta mudah digunakan. Berdasarkan pertimbangan tersebut teknik PCR merupakan metode terbaik untuk diagnosa virus.
II.          Tinjauan pustaka
            Sejak budidaya udang mulai berkembang pada era tahun 80-an, berbagai jenis virus telah dilaporkan menginfeksi udang windu di Indonesia sejak saat itu, diantaranya adalah virus white spot syndrome virus (WSSV), monodon baculovirus (MBV), hepatopancreatic parvo-likevirus (HPV), yellow head virus (YHV), infectious myonecrosis virus (IMNV), infectious hypodermal hematopoietik necrosis virus (IHHNV) dan Laem-Singh virus (LSNV).
            Virus merupakan patogen obligate yang hanya dapat hidup dan berkembang dalam jaringan inang. Virus mengalami beberapa tahap perkembangan dalam sel inang (1) Virion umumnya masuk ke dalam sel dengan cara menempel pada permukaan sel yang disebut dengan reseptor. Reseptor biasanya meliputi protein, polisakarida, atau kompleks lipoprotein-polisakarida. (2) Selanjutnya komponen virus (genome) melakukkan penetrasi ke dalam sel inang sedangkan envelopnya tetap berada diluar sel. Pada saat itu, virus melakukan tahap perkembangan awal. Pada saat awal perkembangan virus, mesin biosintesis inang diubah oleh virus untuk kebutuhan biosintesanya. (3) Setelah mengalami perbanyakan genome, selanjutnya melakukan sintesa protein untuk digunakan sebagai pembungkus virus. (4) Tahap selanjutnya, terjadi penggabungan antara genome dengan bahan pembungkus virus membentuk virus baru. (5) Tahap dimana virus lepas dari satu sel dengan cara lysis lalu menginfeksi sel – sel lainnya dalam tubuh inang.
Secara umum yang dilakukan untuk mencegah infeksi virus tersebut adalah deteksi dini dengan PCR. PCR yang merupakan suatu teknik perbanyakan molekul DNA dengan ukuran tertentu secara enzimatik melalui mekanisme perubahan suhu. Secara ringkas, prinsip PCR dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada suhu 94-95oC, DNA mengalami denaturasi (pembelahan untai ganda menjadi untai tunggal). Waktu yang diperlukan untuk proses ini sekitar 30 detik pada suhu 95oC atau 15 detik pada suhu 97oC. Apabila DNA target mengandung banyak nukleotida G/C, suhu denaturasi dapat ditingkatkan. Denaturasi yang tidak lengkap akan menyebabkan renaturasi secara cepat, sedangkan waktu denaturasi yang terlalu lama dapat memepengaruhi kerja ensim taq polymerase. Hal ini sangat berpengaruh terhadap keberhasilan proses PCR. Umumnya sebelum proses siklus PCR dimulai sering sekali dilakukan pre denaturasi selama 3-5 menit, untuk menyakinkan bahwa molekul DNA target yang ingin dilipat gandakan jumlahnya benar-benar terdenaturasi (Lightner dan Redman, 1998).
Teknik PCR  ini dirintis oleh Kary Mullis pada tahun 1983 dan ia memperoleh hadiah Nobel pada tahun 1994 berkat temuannya tersebut. Penerapan PCR banyak dilakukan di bidang biokimia dan biologi molekular karena relatif murah dan hanya memerlukan jumlah sampel yang sangat kecil.
Zat yang akan dielektroforesis dimuat pada sumur (disebut well) pada sisi elektroda negatif. Apabila aliran listrik diberikan, terjadi aliran elektron dan zat objek akan bergerak ke arah sisi elektroda positif. Kecepatan pergerakan ini berbeda-beda, tergantung dari muatan dan ukuran objek. Kisi-kisi gel berfungsi sebagai pemisah. Objek berukuran lebih besar akan lebih lambat berpindah” (Lightner dan Redman, 1998).

Metode diagnosis dengan multipleks PCR merupakan salah satu metode yang paling cepat dan menjanjikan tingkat akurasi yang tinggi dibandingkan metode lain. Sampel dapat disiapkan dalam awetan alkohol 70% dalam potongan kecil (0,5 cm), untuk PCR dan penggunaan formalin 10% untuk pemeriksaan histopatologi.
“Sampai saat ini belum ada obat – obatan yang tersedia yang dapat diberikan pada udang yang terinfeksi oleh virus, sehingga pengendalian yang paling mungkin untuk mengatasi penyakit ini hanyalah dengan cara pencegahan agar tidak masuk dalam sistim budidaya” (Lightner dan Redman, 1998).

Daftar Pustaka

Lightner, D V.1998. Infectious hypodermal and hematopoietic necrosis, a newly recognized     virus disease of penaeid shrimp, J Invertebr Pathol 42: 62-70.

0 comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

lihat juga